14 August 2010

Sandal Jepit Lusuh Itu...

Selera makanku mendadak hilang. Hanya ada
rasa kesal dan jengkel yang memenuhi kepala
ini. Duh … betapa tidak gemas, dalam keadaan
lapar memuncak seperti ini makanan yang
tersedia tak ada yang memuaskan lidah. Sayur
sop ini rasanya manis bak kolak pisang,
sedang perkedelnya asin nggak ketulungan.“ Istriku, kapan kau dapat memasak dengan
benar…? Selalu saja, kalau tak keasinan…
kemanisan, kalau tak keaseman… ya
kepedesan!” Ya, aku tak bisa menahan emosi
untuk tak menggerutu.
”Sabar Bang…, Rasulullah juga sabar terhadap
masakan Aisyah dan Khodijah. Katanya mau
kayak Rasul …? ” ucap isteriku kalem.
“Iya… tapi abang kan manusia biasa. Abang
belum bisa sabar seperti Rasul. Abang tak
tahan kalau makan terus menerus seperti
ini …!” Jawabku dengan nada tinggi. Mendengar
ucapanku yang bernada emosi, kulihat isteriku
menundukkan kepala dalam-dalam. Kalau
sudah begitu, aku yakin pasti air matanya
sudah merebak.
***
Sepekan sudah aku ke luar kota. Dan tentu,
ketika pulang benak ini penuh dengan jumput-
jumput harapan untuk menemukan ‘baiti
jannati’ di rumahku. Namun apa yang
terjadi…? Ternyata kenyataan tak sesuai
dengan apa yang kuimpikan. Sesampainya di
rumah, kepalaku malah mumet tujuh keliling.
Bayangkan saja, rumah kontrakanku tak
ubahnya laksana kapal pecah. Pakaian bersih
yang belum disetrika menggunung di sana
sini. Piring-piring kotor berpesta pora di dapur,
dan cucian… ouw… berember-ember.
Ditambah lagi aroma bau busuknya yang
menyengat, karena berhari-hari direndam
dengan detergen tapi tak juga dicuci.
Melihat keadaan seperti ini aku cuma bisa
beristigfar sambil mengurut dada. “ Dek.. Dek,
bagaimana Abang tak selalu kesal kalau
keadaan terus menerus begini …?” ucapku
sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Dek…
isteri sholihat itu tak hanya pandai ngisi
pengajian, tapi dia juga harus pandai dalam
mengatur tetek bengek urusan rumah tangga.
Harus bisa masak, nyetrika, nyuci, jahit baju,
beresin rumah …?” Belum sempat kata-kataku
habis sudah terdengar ledakan tangis isteriku
yang kelihatan begitu pilu.
“Ah…wanita gampang sekali untuk
menangis…,” batinku berkata dalam hati.
“Sudah diam Dek, tak boleh cengeng. Katanya
mau jadi isteri shalihat…? Isteri shalihat itu tidak
cengeng,” bujukku hati-hati setelah melihat air
matanya menganak sungai dipipinya.
“ Gimana nggak nangis! Baru juga pulang
sudah ngomel-ngomel terus. Rumah ini
berantakan karena memang Adek tak bisa
mengerjakan apa-apa. Jangankan untuk kerja
untuk jalan saja susah.Adek kan muntah-
muntah terus, ini badan rasanya tak bertenaga
sama sekali, ” ucap isteriku diselingi isak tangis.
“Abang nggak ngerasain sih bagaimana
maboknya orang yang hamil muda…” Ucap
isteriku lagi, sementara air matanya kulihat
tetap merebak.
***
"Bang…, nanti antar Adek ngaji ya…?” pinta
isteriku.
“ Aduh, De… Abang kan sibuk sekali hari ini.
Berangkat sendiri saja ya?” ucapku.
“Ya sudah, kalau abang sibuk,Adek naik bis
umum saja, mudah-mudahan nggak pingsan
di jalan, ” jawab isteriku.
“Lho, kok bilang gitu…?” selaku. “
"Iya, dalam kondisi muntah-muntah seperti ini
kepala Adek gampang pusing kalau mencium
bau bensin. Apalagi ditambah berdesak-
desakan dalam bus dengan suasana panas
menyengat. Tapi mudah-mudahan sih nggak
kenapa-kenapa, ” ucap isteriku lagi.
“Ya sudah, kalau begitu naik bajaj saja,”
jawabku ringan.
Meeting hari ini ternyata diundur pekan depan.
Kesempatan waktu luang ini kugunakan untuk
menjemput isteriku. Entah kenapa hati ini tiba-
tiba saja menjadi rindu padanya. Motorku
sudah sampai di tempat isteriku mengaji. Di
depan pintu kulihat masih banyak sepatu
berjajar, ini pertanda acara belum selesai.
Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan
pasang itu satu persatu. Ah, semuanya indah-
indah dan kelihatan harganya begitu mahal.
“ Wanita, memang suka yang indah-indah,
sampai bentuk sepatu pun lucu-lucu,” aku
membathin sendiri.
Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada
sebuah sendal jepit yang diapit sepasang
sepatu indah. Dug! Hati ini menjadi luruh.
“ Oh….bukankah ini sandal jepit isteriku?” tanya
hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit kumal
yang tertindih sepatu indah itu. Tes! Air
mataku jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya
hati ini, kenapa baru sekarang sadar bahwa
aku tak pernah memperhatikan isteriku.
Sampai-sampai kemana ia pergi harus
bersandal jepit kumal. Sementara teman-
temannnya bersepatu bagus. “Maafkan aku
Maryam,” pinta hatiku.
“Krek…,” suara pintu terdengar dibuka. Aku
terlonjak, lantas menyelinap ke tembok
samping. Kulihat dua ukhti berjalan melintas
sambil menggendong bocah mungil yang
berjilbab indah dan cerah, secerah warna baju
dan jilbab ibunya. Beberapa menit setelah
kepergian dua teman istriku itu, kembali
melintas teman-temannya yang lain. Namun,
belum juga kutemukan Maryamku. Aku
menghitung sudah delapan orang keluar dari
rumah itu, tapi isteriku belum juga keluar.
Penantianku berakhir ketika sesosok tubuh
gamis gelap dan jilbab hitam melintas. “Ini dia
istriku!” pekik hatiku. Ia beda dengan yang lain,
ia begitu bersahaja. Kalau yang lain memakai
baju berbunga cerah indah, ia hanya memakai
baju warna gelap yang sudah lusuh pula
warnanya.
Diam-diam hatiku kembali dirayapi perasaan
berdosa karena selama ini kurang
memperhatikan isteri. Ya, aku baru sadar,
bahwa semenjak menikah belum pernah
membelikan sepotong baju pun untuknya.
Aku terlalu sibuk memperhatikan kekurangan-
kekurangan isteriku, padahal di balik semua itu
begitu banyak kelebihanmu, wahai Maryamku.
Aku benar-benar menjadi malu . Selama ini
aku terlalu sibuk mengurus orang lain, sedang
isteriku tak pernah kuurusi. Padahal Rasul telah
berkata: “Yang terbaik di antara kamu adalah
yang paling baik terhadap keluarganya.”
Sedang aku..? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa
Allah menyuruh para suami agar menggauli
isterinya dengan baik. Sedang aku …? terlalu
sering ngomel dan menuntut isteri dengan
sesuatu yang ia tak dapat melakukannya. Aku
benar-benar merasa menjadi suami terdzalim!
“Maryam…!” panggilku, ketika tubuh berbaya
gelap itu melintas. Tubuh itu lantas berbalik ke
arahku, pandangan matanya menunjukkan
ketidakpercayaan atas kehadiranku di tempat
ini. Namun, kemudian terlihat perlahan
bibirnya mengembangkan senyum. Senyum
bahagia. “Abiang…!” bisiknya pelan dan girang.
Sungguh, aku baru melihat isteriku segirang
ini. “Ah, kenapa tidak dari dulu kulakukan
menjemput isteri?” sesal hatiku.
***
Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk
isteriku. Ketika tahu hal itu, senyum bahagia
kembali mengembang dari bibirnya.
“ Alhamdulillah, Terima kasih ya
Bang…,”ucapnya dengan suara tulus.
Ah, Maryam, lagi-lagi hatiku terenyuh melihat
polahmu. Lagi-lagi sesal menyerbu hatiku.
Kenapa baru sekarang aku bisa bersyukur
memperoleh isteri zuhud dan ‘iffah sepertimu?
Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa
nikmatnya menyaksikan matamu yang
berbinar-binar karena perhatianku …?
Source : i Catatan Akbar Maulana
oOo
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda :
"Janganlah seorang mukmin membenci
seorang mukminah. Bila ia benci darinya satu
akhlak niscaya ia ridha dengan akhlak yang
lain"
Berdasar hadits di atas cerita ini hanyalah
sebagai motivasi bagi yang telah membangun
sebuah keluarga, bagi yang belum berkeluarga
silakan diambil manfaatnya.
Link diskusi topik ini:
http://www.facebook.com/topic.php?
uid=91063035733&topic=16598

Comments :

0 komentar to “Sandal Jepit Lusuh Itu...”

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

SITE MONITOR

Review www.adijaka.blogspot.com on alexa.com
Oneline users :

JavaScript Free Code

 

Copyright © 2009 by BLOG AMBURADUL